INGAT kisah Sangkuriang. itu jejaka Sunda yang berniat menikaihi ibunya sendiri. Dayang Sumbi? Di Kalimantan Tengah ada dongeng rakyat serupa tentang seorang pemuda Dayak, Tangkiling namanya. Tapi berbeda dengan Sangkuriang, Tangkiling ini sudah berhasii bermalam pengantin dengan ibunya. Baru setelah kedua ibu dan anak itu tidur seranjang dalam bahtera (banama) milik Tangkiling, ibunya mengenali kembali anaknya yang lari dari rumah karena diketok kepalanya dengan ciduk penggoreng 35 tahun berselang. Makanya kutukan Dewata lebih dahsyat pada Tangkiling dan ibunya ketimhang Dayang Sumbi & Sangkuriang. Tangkiling dan enam orang kawannya musnah disambar petir lantas berubah jadi batu, begitu pula bahtera milik Tangkiling. Sedang sang ibu terkungkung hidup-hidup dalam bahtera batu yang letaknya 30 Km dari Palangkaraya, sampai kini.
Begitulah cerita Damang Tero, Kepala Adat di desa Tangkiiing yang masih beragama Kaharingan pada setiap pengunjung yang masih percaya pada kesaktian Bawi Kuwu (wanita pingitan) dalam Batu Banama di puncak bukit Tangkiling itu. Desa Tangkiling kini dihubungkan dengan jalan aspal - boulevard terbagus di seluruh Kalimantan Tengah, kata orang - sampai ke Palangkaraya. Soalnya, bukit-bukit granit di desa Tang ling itu semenjak Kal-Teng menjadi propinsi sendiri merupakan sumber batu bangunan yang utama bagi pembangunan kota Palangkaraya. Banyak transmigran dari Jawa yang drop-out dari sektor pertanian bekerja menambang batu granit di Tangkiling yang kini menjadi obyek pariwisata satu-satunya bagi penghuni Palangkaraya. Nah, di puncak bukit yang tertinggi lewat jalan setapak yang cuma 1? Km jauhnya terletak batu banama (batu bahtera) itu. Tinggi batu yang bagian bawahnya lancip seperti limas kapal itu, kira-kira 2 x tinggi orang dewasa, dan panjangnya 10 meter. Dari jauh nyaris tak tampak karena ditumbuhi pepohonan dan semak-semak, lengkap dengan akar-akar gantungnya. Namun kalau didekati, bentuknya yang seperti kapal itu memang tampak menyolok. Mungkin dari situlah berkembang cerita rakyat, bahwa batu itu dulunya bahtera si Tangkiling ratusan atau ribuan tahun yang lalu, ketika desa itu masih terletak di pinggir laut. Dan memang, pasir putih yang merupakan fundasi kota Palangkaraya sekarang dan struktur geologis bagian selatan Kalimantan dulunya masih berujud laut ketika pedalaman Kal-Teng sudah berujud hutan. Pada zaman bahari itulah di desa tadi ada seorang perempuan muda dengan anak satu-satunya, Tangkiling.
Pada suatu hari Tangkiling pulang tengah hari merengek-rengek minta makan, sementara ibunya sedang menggoreng nasi dalam rinjing (kuali). Karena dia tak mau berhenti merengek-rengek, ibunya yang penasaran mengetok kepalanya dengan suduk rinjing (sendok penggoreng). Tangkiling bukannya berhenti menangis, tapi lari ke pelabuhan dengan luka di kepalanya. Di sana ada kapal yang kebetulan mau bertolak, dan Tangkiling pun ikut berlayar meninggalkan kampung halamannya. Nasib mujur rupanya menyertai Tangkiling dalam pengembaraannya itu. Seorang saudagar pelayar mengangkatnya sebagai anak. Dan ikutlah dia berlayar ke mancanegara. Setelah lama bekerja di bawah ayah angkatnya itu, satu ketika Tangkiling diberi kapal banama sendiri oleh ayah angkatnya, dan Tangkiling pun menjadi saudagar yang kaya dan beken di luar negerinya. Setelah 35 tahun meninggalkan kampung halaman, tanpa disadarinya bisnis Tangkiling menyebabkan dia singgah di pelabuhan kampung halamannya.
Mirip kisah si Malin Kundang di Sumatera Barat. Sementara ditinggal anak lelakinya, sang ibu yang rupanya tak bersuami resmi kembali masuk kuwu (semacam 'biara' tempat gadis-gadis yang belum bersuami 'diamankan' dari khalayak ramai). Makanya dalam legenda Dayak, ibu Tangkiling itu hanya dikenal dengan sebutan 'Bawi Kuwu'. Dan seperti juga dalam legenda Sangkuriang di Sunda, Bawi Kuwu tetap awet muda berkat jamu-jamu Dayak sebangsa tabat Banto dan sejenisnya. Makanya, ketika saudagar muda yang kaya raya itu turun dari bahtera dan berjalan-jalan di kampung halamannya sendiri (yang sudah tak diingatnya lagi), tiba-tiba dia terkesima melihat seorang perempuan -- ibunya sendiri -- turun dari kuwu. Keduanya serta merta jatuh cinta. Tangkiling tidak menunggu lama-lama. Bawi Kuwu segera dilamarnya dan lamaran itu pun kontan diterima. Pandai Menjahit Sesuai dengan ketentuan adat, mereka tidak segera kawin. Sebulan lamanya anak-buah Tangkiling menyiapkan pesta perkawinan yang meriah. Sesudah menikah Tangkiling tidak segera berangkat berlayar lagi, tapi masih tetap parkir di pelabuhan itu. Baru setelah tiga bulan bermesra-mesraan, rahasia ibu dan anak itu terbongkar. Tangkiling yang gondrong rambutnya itu minta ibunya menumpas kutu-kutu di rambutnya, dan tersingkaplah parut luka dari masa bocahnya. Bawi Kuwu terkejut, lalu buru-buru menanyakan asal-usul parut itu. Begitu Tangkiling selesai menceritakan riwayat insiden yang menyebabkannya lari dari rumah, ibunya pingsan. Tangkiling pun baru sadar, bahwa dia telah jadi korban sang Oedipus. Kontan ibu dan anak itu bercerai, dan Tangkiling pun lari ke hutan sementara ibunya saking malunya, tak berani turun dari bahtera.
Tangkiling tidak lari untuk menjauhkan diri, tapi untuk menebus dosanya sesuai dengan tuntutan adat. Bersenjata sumpit saja, dia bunuh sejumlah babi hutan dan menjangan untuk binatang kurban, lantas dia kembali ke kampung. Semua orang kampung diundangnya menghadiri pesta penebusan dosa. Pada saat hadirin sudah mabuk dan kekenyangan setelah menyantap suguhan Tangkiling, Raja Pali (Dewa Kilat) yang menjadi asisten Raja Tontong Matanandu (dewa tertinggi di alam-atas) mengirimkan kilatnya untuk menghukum Tangkiling yang telah melanggar hukum Pali (tabu). Tangkiling dan keenam pengawalnya berubah jadi batu. Begitu pula bahtera Tangkiling yang menjadi Batu Banama di bukit Tangkiling sekarang. Bawi Kuwu, terkurung hidup-hidup dalam Batu Banama itu. Riwayat Bawi Kuwu yang cantik jelita itu belum berakhir. Dia dikisahkan pintar menjahit pakaian, dan orang-orang yang percaya dapat memasukkan kain dalam salah satu celah di sisi samping bahtera batu itu, dan pakaian yang sudah terjahit akan ke luar dari situ. Namun suatu ketika, ada seorang Bagumpai (suku Dayak yang sudah masuk Islam, di perbatasan Kal-Sel/Kal-Teng) yang penasaran ingin melihat puteri yang cantik dan pintar menjahit itu. Dipancingnya Bawi Kuwu dengan sepotong kain untuk mengeluarkan tangannya dari celah itu. "Begitu tangan Bawi Kuwu terjulur dari celah, disambarnya tangan perempuan itu", tutur Damang Tero pada TEMPO.
Namun Bawi Kuwu tetap juga tak dapat diseret ke luar. Saking jengkelnya, orang Bagumpai tadi menghunus parangnya, dan memancung tangan puteri nan malang itu. Sejak saat itu, celah itu tertutup, dan sang puteri yang sudah buntung tangannya itu tak lagi mau melayani pesanan jahitan tanpa bayaran itu. Kini, setelah banyak orang Dayak masuk Kristen atau Islam, tak banyak lagi yang datang bersemedi ke batu itu mohon ini dan itu. Namun orang luar yang singgah ke Palangkaraya, biasanya tak lupa diantar oleh tuan rumahnya mengunjungi batu itu guna melihat betapa miripnya karya alam itu dengan bahtera kayu ciptaan manusia. Dan juga bagi pasangan muda-mudi yang sedang dirasuk cinta, naik ke atas batu itu dengan memanjat tangga kayu dan akar-akar yang bersliweran membuka peluang untuk berpacaran dengan aman. Asal permisi dulu pada Bawi Kuwu dan puteranya yang malang, yang namanya sudah diabadikan lewat nama desa di tepi sungai Rungan itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar